22 November, 2009

Serpih Keteladanan Kiai Sepuh

Oleh: Ach. Syaiful A'la, S.Pd.I

Kiai. Begitu kira-kira “gelar” yang diberikan masyarakat kepada sesosok pemimpin yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang disiplin keilmuan tertentu di komunitas masyarakat. Misalnya mereka (kiai) yang mempunyai kemampuan dalam bidang intelektual (‘ilmiyah), spiritual (rohaniyah), sosial (ijtimaiyah), administratif (idariyah), politik (siyasah) lebih-lebih kalau mempunyai pondok pesantren (sebagai pengasuh), sudah tidak terbantah lagi, bahwa dirinya adalah kiai. Tetapi yang aneh terkadang, saat ini juga seorang dukun disebut sebagai kiai.


Keberadaan kiai pengasuh pondok pesantren di dalam lingkungan masyarakat (Indonesia pada umumnya) sudah bagaikan garam dalam sebuah menu masakan. Artinya, keberadaan dan keterlibatan kiai dalam berbagai agenda kegiatan sudah menjadi sebuah kaharusan. Tidak ada kiai, tidak ramai.


Dalam percaturan perpolitikan nasional, yang menjadi menarik dan meramaikan media massa setiap hari karena adanya keterlibatan kiai, mulai dari tingkat pemilihan anggota legeslatif (DPR), eksekutif, pemilihan presiden, gubernur, bupati, sampai kepada pemilihan kepala desa. Seandainya tidak ada keterlibatan kiai, sepertinya tidak menarik, kering dan membosankan, walaupun pada akhirnya muncul kontroversi disana-disini atas keterlibatan kiai pondok pesantren dalam ranah politik praktis. Yang demikian itu terjadi, karena dianggap keikutsertaan kiai dalam politik hampir melupakan tugas utama di pondok pesantren sebagai pendidik dan pentransfer ilmu pengetahuan (cultural broker) dalam bahasa Clifford Geertz.


Sehingga tak salah jika ada guyonan di kalangan warga nahdhiyyin (sebutan bagi warga NU), bahwa kiai-kiai pondok pesantren di Indonesia (dalam sejarahnya) mempunyai pengalaman yang sangat kompleks, mulai dari kiai yang mempunyai sebutan sebagai Qari’ (pelantunan al-Qur’an) sampai dengan Korak (seorang kiai yang pada proses awal kehidupannya penuh dengan kemaksiatan, melakukan perjudian, merampok, kemudian sadar dan kembali sebagai pembimbing dan pengayom umat. Tapi bukan mantai kiai).


Buku Cermin Bening dari Pesantren; Potret Keteladanan Para Kiai ini, mencoba memotret kehidupan para kiai pondok pesantren mulai sejak dalam usia pendidikan (belajar), merintis pondok (sebagai pendiri), memimpin, sebagai pendidik di pondok pesantren, keoptimistikan dalam menghadapi hidup, ulet, sampai kepada pemberian sebuah gelar (julukan) salah satu kiai karena sikap dan perbuatannya yang terkadang – kata sebagian orang – nyeleneh, irasional, sulit dijangkau oleh akal manusia (kiai-kiai sakti dan pendekar). Menariknya, untuk tidak membosankan dan bertambah akrap di ruang pembaca, buku ini juga banyak menyuguhkan anekdot-anekdot kocak para kiai pondok pesantren, seperti menjadi Kiai Sama Dengan Penjaga Toilet (WC) yang kalau tidak dibaca secara utuh tulisan tersebut akan membuat kita (pembaca) bisa marah (hlm. 215).


Walaupun buku semacam ini – yang menceritakan tentang kehidupan sosok kiai pondok pesantren – telah banyak beredar di pasaran, tetapi penulis buku ini berusaha mencari sisi lain yang belum terdokumentasikan oleh beberapa penulis sebelumnya.
Nah, buku cermin ini sebenarnya merupakan sebuah jendela baru bagi pembaca, khususnya para kiai untuk melihat action kiai tempo dulu. Cermin artinya kita bisa becermin bagaimana potret kehidupan kiai pondok pesantren dalam perjuangannya dan cermin sebagai tamparan – perbuatan yang memalukan – kalau kiai-kiai saat sudah tidak sepadan, apalagi menyimpang dari rel yang telah diperbuat oleh kiai-kiai terdahulu.


Misalnya, buku ini (bukan berarti menafikan yang lain) mengangkat sosok KH. Saifuddin Zuhri, Mantan Menteri Jualan Beras (hlm. 92). Hal ini menandakan bahwa semangat hidup yang ada dalam dirinya untuk tetap berusaha (mandiri) dengan tidak mentergantungkan dirinya kepada siapa saja. Mempunyai kekayaan mental. Tidak ambisi jabatan. Sosok kiai Saifuddin ini, adalah bisa dijadikan cermin oleh kiai-kiai kekinian, disaat politik dijadikan sebagai lahan empuk dan dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk mencari penghidupan, mengemis-ngemis jabatan, minta dukungan kesana-sini. Tidak kenyang mental, tetapi kiai yang miskin mental.


Apa yang disebut dengan kemiskinan mental? Kemiskinan mental adalah sebuah kondisi mental kejiwaan atau orientasi hidup seseorang yang dipenuhi oleh kebiasaan-kebiasaan negatif, yang sifat dapat menghambat kemjauan. Seperti psimistik, malas, buruk sangka, sukan menyalahkan pihak lain, iri melihat keberhasilan orang lain. Miskin mental juga bisa ditunjukkan dengan prilaku yang tidak disiplin, tidak percaya diri, tidak bertanggung jawab, tidak jujur, tidak mau belajar, tidak mau memperbaiki diri, dan tidak punyak visi kedepan.


Akhirul-al-Qalam, buku yang semacam tidak hanya cukup dibaca oleh khalayak, terpenting adalah bagaimana kemudian mampu meneladani kehidupan dari beberapa sosok kiai dalam buku ini. Disamping itu, penulisan buku ini, disajikan dalam bahasa yang sangat lewes, mengalir, jernih, padat sehingga mudah dibaca siapa saja, mulai dari orang awam hingga yang alim.


*) Alumnus PP Nasa Gapura & IAIN Sunan Ampel Surabaya


DATA BUKU:
Judul Buku: Cermin Bening dari Pesantren; Potret Keteladanan Para Kiai
Penulis: Rijal Mumazziq Zionis
Penerbit: Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Agustus 2009
Tebal: xvi+248 Halaman

07 November, 2009

Mengamini Suara Hati

Oleh: Ach. Syaiful A'la, S.Pd.I


Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda : “…didalam tubuh kita (manusia) terdapat segumpal darah, apabila segumpal darah itu baik, maka baiklah seluruh anggota tubuhnya, dan begitu sebaliknya, apabila segumpal darah itu jelek, maka rusaknya semuanya, segumpah darah itu tiada lain adalah hati”.


Setiap hari, mungkin kita sering melihat sebuah tulisan yang dipasang oleh orang-orang atau pemerintah dijalan-jalan yang biasanya rawan seperti rawan kecelakaan, tikungan, tanjakan, turunan tajam, jalan bergelombang, keramain tempat bermainnya anak-anak, atau ada hewan (anjing) galak dan lain sebagainya, biasanya ditulislah dengan kata-kata “Hati-Hati!”. Hal ini menandakan bahwa segala gerak-gerik tubuh kita selalu dikendali oleh segumpal darah yang disebut dengan hati.


Kita tentunya semuanya sepakat dan menyadari bahwa suara hati dalam diri seseorang itu tidak pernah bohong. Hal ini terlihat ketika seseorang misalnya melakukan suatu perbuatan kejelekan seperti mencuri, intimidasi, merampok, mencopet atau bahasa ngetrennya disebut dengan istilah KKN (korupsi, kolusi dan niputisme) hampir dipastikan muncul perasaan dalam hatinya yang paling dalam (fuadi) bahwa yang ia perbuat adalah menyimpang dari ajaran Agama, tetapi mungkin karena terpaksa dan desakan hawa nafsu mereka tetap melakukan hal yang mungkar.


Kejadian-kejadian seperti diatas bisa kita lihat dalam beberapa kasus, ketika seorang pencuri kemudian tertangkap apa yang terjadi? Ia menangis dan menyesal. Para pelacur yang setiap hari melayani laki-laki, ketika dilakukan penelitian dan wawancarai, ia menjawab babhwa didalam hati mereka juga menangis dan menyesal, tetapi karena himpitan globalisasi, kondisi ekonomi yang semakin menyusahkan orang lemah dan sebagainya, sehingga pekerjaan tersebut walaupu perbuatan keji tersebut bertantangan dengan agama yang telah dilakukan. Begitu pula dengan orang kafir Quraisy yang tidak mau mengakui kenabian Nabi Muhammad, sebenarnya ia tahu bahwa Muhammad adalah seorang utusan (rasul). Tapi kerena gengsi dan status mereka tetap mengingkarinya. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa suara hati sebenarnya tidak pernah berbohong, selalu mengajarkan dan membimbing seseorang kepada jalan kejujuran dan kebenaran.


Kehidupan modern yang sangat rumit dan kompleks seperti sekarang ini penuh dengan problematikan dan tantangan yang sangat mudah memicu terjadi segala hal pada diri seseorang. Orang yang selalu menuruti apa yang menjadi kemauan otaknya kemudian tidak tercapai, biasa banyak yang cendrung stress. Karena hatinya telah bertentang dengan otaknua. Stress pada tindak lanjut akan menyebabkan seseorang kehilangan akal, arah, dan tujuan hidup. Untuk menyikapi dimaksud seseorang dituntut untuk memantapkan imannya kepada Allah. Iman kepada Allah bukan hanya mayakini bahwa Allah itu ada, tetapi meyakini juga bahwa Allah itu Maha Bijaksana, Maha Adil, tidak mungkin salah, dan tidak mendzalimi hambanya. Tanpa iman yang kuat kita tidak mungkin menghadapi kehidupan dengan tepat, wajar dan sukses.


Orang yang tenang, apabila hatinya tenang. Menghilangkan stress dan menjadikan hati tenang, damai, sejuk, sejahtera dan bahagia adalah tujuan hidup yang didambakan oleh semua orang di dunia ini. Tetapi untuk sampai kesana, mencapai ketenangan hati tidaklah gampang, mengingat tentang problematika kehidupan yang semakin kompleks, plik dan rumit. Namun bagi orang yang imannya sudah mantap kepada Allah, maka tidak dibenarkan jika berputus asa dalam berusaha untuk mencapai ketenangan. orang Orang yang gampang putus asa, dalam Islam adalah bagian dari duri dalam beragama, selain itu pula adalah tipu daya setan yang ditiupkan kepada manusia untuk mengikuti jejaknya menuju jurang ketidak pastian, tiada lain adalah tempat kesengsaraan.


Buku dengan judul Ketika Hati Bersimpuh yang ditulis Hery Sucipto, Sarjana dari Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir ini, mengajak kepada kita untuk selalu optimis dalam menghadapi hidup, tegar dalam menghadapi cobaan, serta penuh semangat dan energik dalam menggapai tujuan serta apa yang yang menjadi cita-cita dalam hidup ini. Didalamnya juga disajikan bagaimana kita (reader) dilatih untuk menyelesaikan suatu masalah, kiat meraih sukses dengan sabar, tulus dalam beramal dan beribadah, dan trik bagaimana untuk selalu menjadi orang yang bermamfaat kepada orang lain. Sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah: “Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermamfaat bagi manusia” (khairun al-nass anfa’uhum li al-nass).


Didalam buku ini pula dipaparkan banyak kisah (sejarah) tentang orang-orang mulia yang tawadu’ dan selalu menuruti kemauan hatinya . Seperti Syeik Yusuf, ulama besar yang sampai mempunyai enam makam, kezuhudan Abu Dzar Al-Ghifari, Ummu Sulaim, seorang istri yang sangat bijaksana, Aisyah, yang menjadi Ibu Agung umat Islam, mengenalkan seorang sosok yang mempunyai cinta sejati kepada Allah, seperti Rabiah Al-Adawiyah, dan yang terakhir bagaimana belajar hidup cinta damai dari Rasulullah SAW.


*) Alumnus PP Nasa Gapura Timur, IAIN Sunan Ampel Surabaya


DATA BUKU:
Judul Buku: Ketika Hati Bersimpuh; Kisah Pensucian Hati, Tauladan dan
Perbaikan Diri
Penulis : Hery Sucipto
Penerbit: Himmah; Grafindo Groups, Jakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal: 306 Halaman

03 November, 2009

Kesaktian para Kiai Sepuh

Ach. Syaiful A'la, S.Pd.I

Karomah – atau dalam bahasa Indonesia disebutnya sebagai keramat; adalah suatu peristiwa yang sulit diterima oleh akal pikiran manusia pada umunya. Akan tetapi karomah banyak dijumpai dalam berbagai literatur agama termasuk di luar agama Islam sendiri.


Tetapi karomah tidak sama dengan kekuatan linuwih yang dimiliki oleh orang yang fasik. Sebab meskipun orang fasik bisa juga melakukan keajaiban-keajabian sebagaimana karomah, yaitu orang yang dekat dengan Allah (shaleh). Namun kejabaiban yang dilakukan oleh orang fasik itu bukanlah karomah. Kejadian itu kita kenal dalam Islam dengan istilah istidraj, ada yang menyebutnya dengan al-makr (tipu daya) dan al-ihlak (pembinasaan) – kejadian yang luar biasa yang diberikan Allah kepada hambanya yang fasik alias kufur agar mereka bertambah kekufurannya alias bertambah sombong. Pekerjaan mereka banyak dibantu oleh iblis dan anak buahnya.


Berbeda dengan karomah. Karomah merupakan tanda kewalian seorang hamba Allah, sebagaimana mukjizat yang diberikan Allah kepada para nabi dan rasul sebagai bukti tanda kenabian. (baca : perbedaan antara mukjizat, karomah, istijraj, sihir). Biasanya karomah tidak tampak – atau sengaja tidak ditampakkan oleh seorang hamba Allah – karena takut akan memutus perjalanan spiritual dirinya kepada Allah. Yang demikian itu banyak kita jumpai dibeberapa, terkadang diketahuinya bahwa seseorang mempunyai karomah kalau dia sudah tidak ada alias meninggal dunia. Ada juga yang langsung ditampak karena berkenaan dengan dakwah dimana mereka berhadapan sesuai dengan obyek dakwahnya.


Suatu contoh seorang kiai – sebut saja namanya kiai Hosa panggilan akrapnya KH Hosamuddin tinggal disebuah kampung namanya kampong Battangan terletak di Desa Gapura Timur Sumenep Madura, yang namanya tidak tersentuh dalam buku ini – dalam melakukan dakwah di Desa Candi (Dusun Gunung), beliau menampakkan ilmu kesaktian yang ada dirinya.


Konon, pernah suatu hari ada sebuah jam’iyah (kompolan, madura) di Desa Candi itu. Karena masyarakatnya masih minim akan ilmu-ilmu agama, ketika dalam acara jam’iyah yang selalu diperbincangkan tentang “carok” – adu ketangkasan dengan menggunakan alat yang namanya arek (madura : latting, sade’, caloret, busri, pengerrat dan lain-lain). Sehingga banyak jamaah tidak mendengarkan isi ceramah dari kiai Hosa. Alkisah, dari salah satu anggota jam’iyah yang dipimpin kiai Hosa di Desa setempat, suatu ketika usai acara, sang kiai – memang dengan sengaja – meletakkan koreknya (coret, madura) dibawah daun pisang (daun sisa bungkus makanan yang disajikan tuan rumah untuk jamaah, di madura makanan itu disebut dengan pes-paes atau leppet) kemudian kiai pamit dan pergi meninggalkan acara.


Tidak jauh dari tempat acara, sekitar + 100 m kiai Hosa pura-pura memanggil minta tolong kepada seseorang yang masih ada didalam tempat perkumpulan tadi bahwa koreknya ketinggalan di tempat dimana ia duduk. Setelah dicari-cari oleh jamaah ternyata korek itu berada dibawah daun pisang sisa bungkus suguhan yang disajikan ke pak kiai. Yang aneh pada waktu itu, semua orang (laki-laki) yang ada dalam perkumpulan, tidak satu pun yang bisa mengangkat korek pak kiai – terasa berat untuk mengangkatnya.. Dengan kejadian itu tadi, akhirnya masyarakat percaya dan taat bahwa kiai Hosamuddin mempunyai kemampuan (karomah) yang luar biasa. Sehingga dalam melakukan dakwah agama selanjutnya meresa gampang menyampaikan pesan-pesan moral agama kepada masyarakat berkah karomah yang ditampakkan secara terang-terang di khalayak umum.


Contoh lain misalnya karomah yang dimiliki kiai As’ad. Beberapa tahun silam Nahdlatul Ulama (NU) mengadakan muktamar ditempatkan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo. Muktamar itu akan dihadiri oleh Presiden Soeharto untuk membuka acara. Karena musim kemarau (panas), maka tempat landas (lapangan) helikopter presiden beserta rombongan dikhawatirkan berdebu akhirnya dinas terkait di kabupaten setempat menyiram lapangan agar tidak berdebu. Tidak lama setelah pekerjaan berlangsung, tiba-tiba kiai As’ad muncul dan minta untuk dihentikan penyiramannya karena hanya membuang-buang anggaran daerah. Kiai As’ad bilang bahwa hujan sebentar lagi akan turun – padahal musim kemarau. Tidak lama setelah kiai As’ad pulang dari lapangan ternyata benar mulai ada gerimis bahkan sampai hujan lebat membasahi area lapangan. Anehnya dari kejadian diatas, ditempat lain tidak ada yang hujan alias kering, yang ada hujan hanya di lapangan tadi (hlm. 19-25).


Itulah baru sekilas cerita dari kiai kampung pengasuh pesantren, dan masih banyak karomah-karomah kiai-kiai lainnya yang sengaja ditampakkan atau tidak ditampakkan di masyarakat. Misalnya di dunia pesantren (NU) ada yang namanya kiai Kholil Bangkalan, kiai Imam Nawawi, kiai Hasyim Asy’ari, kiai Usymuni Tarate, kiai Syarqawi Guluk-guluk, kiai Ali Brambang dengan karomahnya bisa ngajari kera ngaji Al-Qur’an hingga beberapa ayat dan masih banyak kiai-kiai NU dan pesantren lainnya yang tidak bisa disebutkan semua namanya disini yang telah mempunyai karomah luar biasa karena kedekatannya kepada Allah sehingga dengan karomahnya telah banyak memberikan pencerahan dan bimbingan pada masyarakat.


Dalam Al-Qur’an banyak sekali yang ayat mengisahkan kejadian yang sulit diterima oleh akal. Tetapi peristiwa itu memang telah terjadi. Lihathah seperti yang dikisahkan dalam Al-Qur’an : ashabul kahfi, sekompok pemuda sufi yang tertidur nyenyak dalam jangka waktu ratusan tahun dalam goa, Nabi Ibrahim yang dibakar oleh raja Namrud, kemudian keluar dari kobaran tanpa ada sedikit cacat dari anggota tubuhnya, Nabi Musa hanya dengan sepotong kayu (tongkat) bisa membelah laut, kemudian laut menjadi lorong hingga akhirnya dirinya selamat dari kejaran raja Fir’un, kemudian raja Fir’un berserta bala tentaranya ditenggelam di laut merah ketiga mengejar sang kekasih Allah (khalilullah) karena air kembali merapat setelah Nabi Musa dengan pengikutnya sampai di daratan, dan masih banyak peristiwa-peristiwa yang luar biasa (khawariqul adat) lainnya yang kita temukan dalam Al-Qur’an. Kelebihan-kelebihan (karomah) yang diberikan Allah kepada seorang wali (orang yang dekat dengan-Nya) tiada lain hanya untuk memantapkan keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah.


Buku ini hadir diruangan pembaca tiada lain untuk mengisahkan beberapa karomah yang dimiliki oleh para kiai yang ada di (lokal) Indonesia, khususnya didunia pesantren. Buku ini berisi sebanyak 77 kisah (nyata, sudah terjadi dan terbukti ada kebenarannya) karomah kiai asli indonesia. Dan kisah-kisah yang ada dalam buku ini telah terkuak dimasyarakat bahkan diluar pesantren; kisah-kisah yang belum bertuliskan dalam selembar buku dan hanya berkembang dari mulut kemulut.

Selamat membaca!


*) Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya


DATA BUKU:
Judul Buku : Karomah Para Kiai
Penulis : Samsul Munir Amir
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : xx+348 Halaman