21 Agustus, 2010

Mengenal Identitas Khas Bangsa

Oleh: Ach. Syaiful A'la*


Mengenal identitas diri sangatlah penting untuk menerangkan dan meneguhkan siapa diri kita yang sebenarnya. Identitas diri tersebut mencakup: dari mana kita berasal, siapa orang tua dan nenek moyang kita, apa prestasi mereka yang membanggakan, bagaimana semboyan dan falsafah hidupnya yang menguatkan dan memberi inspirasi, termasuk budaya dan adapt-istiadat yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan hidup dalam berbangsa.

Pada setiap individu sebenarnya yang paling penting mengetahui tentang identitas, potensi dan keberanian, kekuatan, bukanlah orang lain. Identitas diri perlu dicari, dibangunkan dengan pendidikan dan pergaulan, diberikan energi dan semangat, dilatih dan ditempa serta ditemukan secepatnya supaya bisa dikembangkan segala potensinya agar berguna bagi diri sendiri dan orang lain.

Orang yang telah mengetahui identitas dirinya adalah orang yang mengalami pencerahan dan kesadaran tentang potensi dan peluang dirinya untuk berkembang. Identitas diri dicari ke dalam diri melalui proses perenungan dan pemahaman dari sejarah hidup. Dengan identitas diri kita bisa berprestasi yang lebih tinggi dalam bekerja karena fondasi yang kuat sebagai penyangga pengalaman yang akan mematangkan sikap dalam menghadapi hidup.

Merebahnya arus globalisasi saat ini banyak generasi muda tercerabut identitasnya. Mereka tidak tahu sejarah dan asal-usul keluarga, apalagi tentang prestasi nenek moyangnya yang membanggakan. Dalam lingkup yang lebih luas, cerita-cerita etnik, nyanyian, kidung dan petuah kuno sudah dilupakan. Kehidupan seni dan sastra yang mengandung makna spirit yang menggerakkan semangat juga telah banyak dilupakan. Generasi muda mulai merasa bingung dan malu mencari identitas dirinya sendiri.

Banyak orang (pemuda) saat ini yang mencari identitas palsu merek bangsa lain, menjadi generasi shabu-shabu, generasi Mc Donald, Kentucky Fried Chicken, Levis, Billabong, Donna Karan, Marlboro dan generasi merek produk terkenal lainnya yang tentunya berbau barat, tanpa dilandasi dengan semangat dan filosofi yang kuat. Banyak orang yang tidak bisa menghadapi dan memaknai hidup menjadi kehidupan yang lebih baik, kecuali semangat konsumtif, pamer dan biar dikira kaya. Apakah budaya konsumtif ini yang disebut identitas kita? Kenyataannya generasi muda kita sudah terlanjur bangga dengan identitas dirinya yang palsu.

Sebenarnya banyak orang yang ingin mengenal dirinya sendiri, terutama waktu masih remaja. Hanya saja tidak tahu bagaimana caranya. Kita bangsa Indonesia memang menghadapi banyak masalah yang membuat seseorang menjadi bingung. Kebingungan itu sebenarnya ada sangkut pautnya dengan krisis identitas dan krisis mengenal diri sendiri. Bagi orang Indonesia, identitas merupakan pernyataan yang khas, yang sukar dijawab dengan merode-metode analisis dari Barat. Jadi, saat ini kita mencari suatu metode yang bertitik pangkal dari kebudayaan Indonesia.

Buku setebal 252 halaman berjudul Mengenal Diri Sebagai Orang Indoensia; Menganalisis Orang Berbudaya Indonesia dengan Analisis Transaksional karya Paul de Blot, SJ ini, adalah sebuah buku baru yang menyajikan metode psikologi analisis transaksional atau TA, Transactional Analysis untuk memecahkan problem serius yang tengah dihadapi bangsa saat ini yang sedang kebingungan mencari identitas dirinya.

Kenapa harus dengan Analisis Transaksional (TA)? Metode ini mempunyai kekuatan dan paling tepat untuk bangsa Indonesia karena bertitik pangkal dari budaya setempat dan corak pergaulan lokal. Sehingga metode-metode dalam buku ini merupakan jalan bagi orang Indonesia untuk lebih mengenal diri sendiri dan orang lain; bukan untuk disalahgunakan, melainkan memperbaiki pergaulan dan menghargai orang lain. Analisis Transaksional adalah kajian yang menekankan pada tindakan-tindakan seseorang. Dengan mengamati tindakan orang, kita pun akan mampu mengenal dirinya sendiri.

Masyarakat Indonesia yang terdiri dari lebih 500 suku dengan 250 lebih macam bahasa daerah, yang mana semua dipersatukan dengan ikrar yang telah menjadi dasar persatuan bangsa ini, yaitu sumpah permuda yang berisi; satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Ikrar tersebut telah diucapkan oleh seluruh bangsa Indonesia dengan perwakilan para pemuda dari berbagai suku dan golongan pada tanggal 28 Oktober 1928, saat Indonesia masih berada dibawah penjajahan Belanda. Hingga pada saat proklamasi dibacakan maka ditetapkanlah Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar Negara.

Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah kuatnya mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan suatu model identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin kerjasama antar semua golongan tanpa pernah menyinggung perbedaan karena memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.

Perbedaan adalah anugerah, dimana darinya maka kita dapat mengenal satu sama lain, saling mengisi dan hidup penuh warna dalam melakukan komunikasi, interaksi dan juga relasi, sehingga dapat mewujudkan civil society sesuai dengan apa yang telah dicita-citakan bersama. Tidak ada yang instan dalam mewujudkan cita-cita, semua membutuhkan proses, kerja keras dan pengorbanan.

Kehadiran buku ini di ruang pembaca hendaknya menjadi manajemen diri sendiri yang efektif, yang berakar pada kebuadayaan Indonesia. Baik dalam dunia bisnis, maupun dalam pergaulan keseharian di bidang pendidikan, politik atau bidang-bidang yang lain.



*Direktur Kumunitas Baca Surabaya (KOMBAS) &
Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya


DATA BUKU (dimuar di Radar Surabaya, 22/8/2010)

Judul Buku : Mengenal Diri Sebagai Orang Indoensia; Menganalisis Orang

Berbudaya Indonesia dengan Analisis Transaksional

Penulis : Paul de Blot, SJ

Penerbit : Kanisius, Yogyakarta

Cetakan : I, 2010

Tebal : 252 Halaman

20 Agustus, 2010

Berharap Puasa Mabrur

Oleh: Ach. Syaiful A'la*

Secara umum, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi. Ketiga potensi tersebut mempunyai kecendrungan yang berbeda-beda dan berusaha saling mempengaruhi di dalam jiwa manusia.

Pertama, potensi amarah (qawwat al-ghadhabiyah). Potensi ini cenderung untuk mengikuti sifat-sifat amarah dan emosional yang berlebihan. Jika potensi ini yang mengendalikan diri manusia, bisa dipastikan seseorang akan menjadi labil, pemarah, dan tidak bisa berkompromi.

Kedua, potensi kekuatan syahwat (quwwat al-syahwaniyah). Kekuatan ini cendrung memperturutkan hawa nafsu yang mengarah ke pemenuhan kebutuhan biologis secara berlebih-lebihan. Jika potensi yang dominan dan berkauasa, manusia akan terjerumus dalam kenikmatan (duniawi) sesaat.

Ketiga, potensi berpikir (quwwat al-natiqah). Jika potensi yang mengendalikan manusia, sebenarnya positif saja selama ini tidak berlebih-lebihan dalam mengembangkan potensi tersebut, baik dalam rangka memahami doktrin agama, maupun implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Substansi ibadah puasa ramadlan dalam konteks ini adalah mengembalikan ketiga potensi tersebut agar bisa terarah dengan benar. Jadi, dalam hal ini, tuntunan puasa ramadlan adalah membina, membimbing serta mengarahkan ketiga potensi agar bisa tersalurkan dengan baik dan benar.

Puasa Mabrur
Kata “mabrur” disini mungkin sangat asing di telinga pembaca ketika dikaitkan dengan ibadah puasa. Karena kata (mabrur) tersebut lazimnya melekat dan merupakan sebuah predikat bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.

Tentunya kita telah mafhum, bahwa tipe orang yang melaksanakan ibadah haji itu ada tiga. Jika seseorang yang menunaikan ibadah haji, kemudian kembali ketanah air, kelakuannya (sikap) lebih jelek dari sebelumnya, maka dimata Allah orang tersebut mendapat tiket, namanya haji mardud (ditolak). Apabila seseorang yang melaksanakan ibadah haji, setelah kepergiannya amal perbuatannya sama saja seperti sebelumnya (tidak ada perubahan), maka dinamai dengan haji makbul (keterima). Bila mana seseorang yang menunaikan ibadah haji kelakuannya lebih baik dari sebelum naik haji, maka ia menyandang predikat haji yang mabrur. Dan predikat mabrur inilah tentunya menjadi cita-cita setiap insan yang menunaikan ibadah haji.

Predikat mabrur disini ternyata tidak sesederhana seperti yang kita ucapkan setiap saat ini. Dalam sebuah hadits Nabi disebutkan, mabrur disini apabila memenuhi kriteria berikut. Pertama, orang yang baik perkataannya (thibul kalam). Misalnya orang tersebut bermoral, mempunyai kekayaan mental (optimistik), amanah dalam menjalankan tugas, sopan dalam bergaul dengan sesama, tawadau’ (tidak merasa dirinya lebih tinggi ketimbang yang lain). Kedua, mampu menyebarkan kedaimaian (ifsyaul as-salam). Ketiga, memberikan makan (ith'amul at-tha'am), seperti membantu orang yang kelaparan, menyantuni anak yatim piatu dan lain sebagainya.

Puasa sebagai Training
Bulan ramadlan atau disebut juga dengan bulan puasa sebagai bulan yang penuh berkah (syahrul mubarok). Berkah artinya terkumpulnya kebaikan Ilahiah pada suatu waktu, tempat, sesuatu atau seseorang. Dari satu sudut dapat disebut bahwa bulan ramadlan adalah bulan yang sangat produktip. Produktifitas ramadlan itu ditandai dengan peningkatan pahala sebagaimana dikatakaan oleh Nabi, bahwa amal sunnat diganjar senilai amal wajib, dan amal wajib diganjar dengan 10 sampai dengan 700 kali lipat, bergantung kualitasnya.

Puasa yang dilakukan seseorang secara benar, secara psikologis akan menekan keserakahan kepada harta dan menekan dorongan hawa nafsu (nafsul ammarah) yang pada gilirannya dapat meningkatkan tingkat kesucian jiwanya (nafsul muthmainnah). Hadits tersebut diatas tidak cukup hanya dimaknai secara literal saja, melainkan harus didefinisikan kepada konteks sosial saat ini. Kerana puasa adalah sebuah latihan (training) kepada kita untuk menghindari hal-hal yang sifatnya buruk, bukan semata-semata ibadah ritual yang sifatnya transindental, yang sepertinya tidak mempunyai nilai-nilai kemanusiaan sama sekali. Puasa secara substantif mempunyai makna sosial dan menjadi keharusan untuk diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat (a’malul yaumiyah).

Misalnya dalam sebuah hadits Nabi juga disebutkan, bahwa 10 hari pertama di dalam bulan ramadlam adalah rahmah (pemberian segala macam kenikmatan dari Allah). Rahmat disini dapat artikan bahwa kita juga harus bisa memberikan mamfaat kepada orang lain. Sepuluh hari kedua adalah maghfirah (ampunan). Orang yang melaksanakan ibadah puasa hendaklah bisa memberikan maaf kepada orang lain, karena memaafkan orang lain jauh lebih sulit ketimbang memberi ampunan. Sepuluh hari ketiga adalah dibebaskan dirinya dari siksaan api neraka.

Bebas dari api neraka disini berarti keluar dari kesengsaraan. Sebagai muslim yang melaksanakan ibadah puasa, hendaknya turut serta membantu, menolong guna meringankan penderitaan saudaranya, misalnya supaya mereka cepat keluar dari himpitan persoalan ekonomi (kemiskinan) yang hingga kini tak kunjung usai.

Inilah yang dimaksud dengan “mabrur” dalam tulisan ini. Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa akan mendapat predikat “mabrur” dan benar-benar keluar sebagai pemenang (fitrah) kalau mampu mengaplikasikan ketiga hal tersebut diatas. Karena apa yang diperbuat selama bulan puasa, seperti memperbanyak sedekah, mengeluarkan zakat fitrah, memberi bantuan makan seperti buka dan sahur kepada orang lian dan membantu sahabat sekitar yang memang membutuhkan, kemudian ia mampu menerjemahkannya pada 11 bulan diluar bulan ramadlan berikutnya.


*Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya' 2009.